Pendahuluan
Tulisan ini mengkaji tentang persoalan yang sedang hangat dalam dunia politik nasional sekarang ini yakni “hiruk-pikuk” politik menjelang pemilu presiden – selanjutnya disingkat pilpres – 2009, yang memfokuskan pada gerak politik Susilo bambang Yudhoyono (SBY) dalam aktifitasnya menjelang pilpres.
Dalam sebuah Negara demokrasi modern rotasi kekuasaan dan proses yang menyertainya – pemilu presiden — menjadi pra-syarat mutlak bagi proses penyelenggaraan Negara. Karena dengan adanya proses pemilihan akan semakin membatasi masa kekuasaan pemimpin karena rakyat memiliki hak untuk menentukan pilihan mereka bagi siapa yang berhak untuk menjadi pemimpin mereka untuk masa lima tahun mendatang, karena itu, proses pilpres merupakan hal yang sangat menarik untuk selalu diikuti. Bagi incumbent pemilu presiden adalah salah satu indicator tingkat legitimasi presiden yang sedang berkuasa, dalam arti apabila ia dianggap sukses maka besar kemungkinan dirinya akan kembali terpilih, sedangkan apabila sebaliknya, maka ia tidak akan dipilih.
Terlepas dari pada itu, dengan adanya pilpres setidaknya membuka peluang bagi tokoh-tokoh yang memiliki kemampuan – memiliki sumberdaya politik, social, maupun financial – untuk ikut berkompetisi dalam memperebutkan kekuasaan. Berkaitan dengan itu maka muncul nama-nama seperti Yusuf Kalla, maupun Megawati untuk ikut berkompetisi.
Menurut Harold Lasswell, studi tentag politik pada dasarnya adalah studi tentang pengaruh dan orang yang berpengaruh. Teori ini kiranya tepat untuk menggambarkan bagaimana dinamika politik secara empirik. Politik adalah merupakan pertarungan kepentingan, dan pembagian nilai-nilai bagi actor-aktor yang terlibat dalam pertarungan politik tersebut – who gets what, when, and how –. Dalam kasus ini adalah, bagaimana perilaku politik SBY berkaitan dengan persoalan citra dan ralasinya dengan kelompok kepentingan lainnya – partai-partai koalisi – sehingga dapat menjalin hubungan yang solid, dan perilakunya menghadapi lawan politiknya.
Konstalasi Politik Menjelang Pilpres
Indonesia baru saja melewati pemilu legislative yang berlangsung tanggal 9 April 2009 dengan sukses, meskipun masih didapati beberapa persoalan mendasar seperti kisruhnya Daftar Pemilih Tetap (DPT). Meskipun demikian, pemilu tersebut menjadi sebuah katalisator untuk dapat mengukur konstalasi politik selanjutnya, karena besar kecilnya perolehan suara suatu partai dalam pemilu legislative akan memberikan bargaining partai dalam pilpres setelahnya.
Hasil penghitungan manual yang dikeluarkan oleh KPU, tanggal 9 Mei 2009, hanya 9 partai yang lolos parliamentary threshold 2,5 persen dan menempatkan Partai Demokrat menduduki peringkat pertama dengan perolehan 20, 85 %, disusul oleh Golkar dengan perolehan suara 14, 45%, dan ditempat ke tiga meraih 14, 03%. Persentase kursi di DPR menempatkan Partai Demokrat meraih 150 kursi (26,43%), partai Golkar meraih 108 kursi (19,29%), dan PDIP mendapatkan 93 kursi DPR (16,61%). Hal ini membawa sedikit perubahan dalam perjalanan politik nasional bahwa Partai Demokrat yang baru menjalani dua kali pemilu sudah mampu menggeser kemapanan partai-partai lama – Golkar, PDIP, PPP, PKB, dlsb — yakni menjadi pemenang dalam pemilu. Ini tentunya menjadi angin segar bagi politik Indonesia bahwa, lama tidaknya suatu partai belum tentu ia dapat terus mempertahankan dominasinya karena persoalan figure, ataupun platform suatu partai sangat menentukan. Karena itu, perlu dilakukan kampanye politik terus menerus, dalam arti partai dituntut untuk mengerahkan energi untuk selalu memberikan terobosan-terobosan program populis, di luar masa kampanye pemilu, karena kampanye pemilu dilakukan hanya menjelang pemilu saja.
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tentu saja sangat gembira melihat hasil tersebut karena ia langsung dapat mencalonkan kembali dalam pilpres nanti, meskipun tanpa jalur koalisi dengan partai lain. Sementara partai ataupun tokoh-tokoh lain yang ingin mencalonkan diri harus berusaha untuk mencari rekanan koalisi untuk mencukupkan angka 20% sebagai syarat keikutsertaan dalam pilpres. Keadaan ini yang membuat tokoh-tokoh yang sebelumnya sangat giat dan jauh-jauh hari telah memproklamirkan diri untuk maju dalam pilpres seperti Sutioso, Sultan Hamengkubuwono X, dll, mundur secara teratur. Sehingga hanya meniggalkan beberapa saja yang masih terus beredar dalam bursa capres, yakni Yusuf Kalla – wakil presiden — yang telah memproklamirkan untuk maju berpasangan dengan Wiranto, Megawati yang akhirnya berpasangan dengan Prabowo Subianto.
Yusuf Kalla adalah Wakil Presiden yang “pecah kongsi” dengan SBY sedangkan pasangannya adalah Wiranto, ketua partai Hati Nurani Rakyat, seorang mantan Panglima ABRI dan juga mantan calon Presiden yang kalah pada pilpres tahun 2004 yang pada waktu itu diusung oleh partai Golkar. Megawati adalah seorang mantan Presiden ke 5 yang kembali maju dalam pilpres karena kalah dalam pilpres 2004 sedangkan pasangannya Prabowo Subianto – ketua Dewan Pembina Gerindra — adalah mantan menantu Soeharto, mantan Panglima Kostrad yang diberhentikan karena terbentur kasus penembakan mahasiswa kerusuhan Semanggi tahun 1998. tokoh ini dikenal sangan controversial karena ia dianggap sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap kasus terbunuhnya mahasiswa dalam kerusuhan 1998. Sedangkan calon ketiga adalah SBY sendiri dan berpasangan dengan Budiono. Budiono adalah orang non-partai yang karirnya banyak dihabiskan di dunia akademik sebagai dosen UGM dan juga seorang mantan Menko Perekonomian dan juga mantan Gubernur Bank Indonesia.
Ketiga pasangan ini lah yang nantinya akan bersaing menuju RI 1 dan RI 2 untuk masa jabatan 2009-2014. Ketiganya adalah tokoh-tokoh yang telah popular atau dikenal oleh masyarakat luas. Dalam hal popularitas tentunya SBY unggul di atas calon lainnya karena ia adalah incumbent sedangkan yang lainnya adalah para penantang yang berusaha untuk mengalahkan incumbent dalam perburuan kursi RI 1 dan RI 2.
SBY, popularitas, dan koalisi
Menurut Yasraf A. Piliang, dunia politik tidak hanya ruang tempat lalu-lalangnya entitas Fisik dan psikis (aktor, sarana, ide, obyek) akan tetapi yang lebih penting lagi adalah gagasan, ide, atau konsep. Politik tidak saja bagaimana aktor, materi, obyek (sumberdaya fisik) dimobilisir dalam rangka mendapatkan kekuasaan, akan tetapi yang lebih penting adalah bagaimana ide-ide diproduksi, dieksploitasi, dimanipulasi, direkayasa, dan dimobilisi dalam rangka memenangkan penerimaan Publik.
Menurut Bruce, terdapat dua aktor dalam persaingan partai yaitu para pemilih (voters) dan partai politik. Karena itu partai harus tetap mempertimbangkan isyu-isyu yang sangat berkaitan dengan kepentingan rakyat karena mereka adalah pengambil keputusan bagi peningkatan suara partai yang bersangkutan. Para pemilih dalam melakukan pilihannya terhadap suatu partai politik setidaknya sangat dipengaruhi oleh dua hal : pertama, platform politik dari suatu partai yang bersangkutan, misalnya berkaitan dengan ideologi politiknya. Partai dituntut tidak hanya mengetengahkan program-program politik secara mendetil namun juga secara umum ‘ideologis’ agar para pemilih dengan gampang dapat mengidentifikasi partai sesuai dengan preferensi mereka. Kedua, track record mereka sebelumnya. Hal ini terutama akan dijadikan ‘gudence’ bagi mereka akan gambaran bagi suatu partai. Karena itu perlu dilakukan kampanye politik yang terus menerus, ataupun manuver politik sehingga akan terbentuk citra yang melekat di benak masyarakat tentang gambaran suatu partai politik yang dapat membedakannya dari partai yang lain.
Partai politik dituntut untuk terus melakukan kampanye politik total untuk meraih simpati pemilih, dalam arti masyarakat adalah pengambil keputusan dalam pemilihan, maka aktivitas organisasi maupun individu-individu di dalamnya sudah barang tentu tetap dalam monitor masyarakat. Sedangkan kampanye pemilu hanya dilakukan secara periodik dan akan meningkat intensitasnya pada saat menjelang pemilu.
Dalam kasus ini peran positioning dan ideologi menjadi penting sehingga akan memberikan kesan yang kuat di masyarakat tentang gambaran suatu partai. Sehingga image positif akan tercipta dalam benak pemilih sehingga mereka tidak ragu untuk memberikan pilihannya pada suatu partai.
Membangun image positif dan sampai di masyarakat sesuai dengan yang apa yang diharapkan suatu partai politik atau calon presiden bukanlah hal yang mudah untuk dapat dicapai. Untuk itu ada hal yang harus dilakukan secara terus menerus oleh setiap partai politik atau pun figure yang ingin mencalonkan diri dalam pilpres, yaitu komunikasi politik. Komunikasi politik menurut Firmanzah adalah usaha terus menerus untuk melakukan komunikasi dialogis dengan masyarakat. Komunikasi politik tidak hanya dilakukan melalui kampanye politik melainkan melekat juga pada pemberitaan dan publikasi atas apa saja yang telah, sedang dan akan dilakukan oleh partai politik ataupun calon yang bersangkutan. Komunikasi politik adalah menciptakan kesamaan pemahaman politik, misalnya, pesan, permasalahan, isyu, ataupun kebijakan politik, antara satu partai dengan konstituen. Komunikasi di sini dilihat sebagai komunikasi dua arah, bukan satu arah – top down.
Dari awal kemunculannya SBY dalam panggung politik nasional, SBY adalah sosok yang memiliki kekuatan dalam hal citra yang kuat. Meskipun ia lahir dari AD yang sebelumnya memiliki citra yang kurang baik, karena pengalamannya selama masa Soeharto, namun, sosok SBY lebih dianggap sebagai sosok Jendral intelektual, bersahaja, dll. Ia juga memiliki kemampuan verbal yang sangat baik, kata-katanya tertata dengan rapi, dan santun. Karena itu, SBY dianggap berbeda dengan jendral yang lain.
Pengalamannya selama menjadi Presiden semakin memantapkan citranya sebagai tokoh yang “peduli” dengan rakyat kecil. Ia dianggap peduli dengan rakyat kecil karena beberapa kebijakannya dianggap pro mereka seperti, membuat kebijakan Bantuan Langsung Tunai (BLT), maupun PNPM Mandiri, dlsb. Kebijakan tersebut, bagi masyarakat miskin, dianggap sebagai kebijakan yang sangat populis, dan sebagai wujud dari keberpihakan pemerintah kepada rakyat kecil. Meskipun, pada dasarnya, kebijakan tersebut sebenarnya usaha “carimuka” dari pemerintah setelah menaikkan harga BBM karena dipengaruhi oleh naiknya harga minyak dunia. Bagaimanapun, kebijakan menaikkan harga BBM adalah sebuah kebijakan yang sangat tidak populis, karena naiknya harga BBM akan berdampak pada sekto-sektor lainnya, misalnya harga.
Bagaimanapun, 40 juta rakyat miskin merupakan asset yang sangat potensial untuk dipertahankan. Karena itu, SBY adalah orang yang jeli atas situasi ini – tanpa menegasikan peran Jusuf Kalla karena . Tidak heran kiranya partai Demokrat mendapatkan peningkatan suara yang sangat signifikan dalam pemilu legislative, bahkan peningkatan suara tersebut tidak hanya terpusat di perkotaan lagi melainkan telah menembus suara masyarakat pedesaan.
Orientasi utama pemilih memiliki dua orientasi utama yakni, orientasi isu, dan orientasi kandidat. Orientasi isu sangat berkaitan dengan apa-apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang sedang dihadapi masyarakat. Sementara orientasi kandidat mengacu pada pribadi kandidat, yakni bagaimana membangkitkan sentiment positif kepada benak pemilih sehingga dapat mempengaruhi mereka dalam menentukan pilihan.
Tingginya popularitas SBY juga tidak dapat dilepaskan dari keuntungan langsung maupun tidak langsung yang didapatnya selaku Presiden (incumbent). Keuntungan langsung bagi SBY adalah dalam bentuk popularitas dan publisitas, dalam arti gambarnya akan mudah ditemukan disetiap kantor-kantor pemerintah, dll. Sedangkan keuntungan tidak langsung didapatnya dalam bentuk aktivitasnya selaku presiden RI. Ia dapat melakukan kampanye politik sepanjang masa, dalam arti akstivitasnya pada saat menjabat pada dasarnya adalah sebuah kampanye. Semakin sukses ia di mata mata rakyat maka semakin popular ia.
Kualitas kandidat memiliki dua variable: pertama, kualitas instrumental yakni tindakan yang diyakini pemilih akan direalisasikan oleh kandidat bila kelak menang dalam pilpres. Misalnya keyakinan pemilih bahwa seorang kandidat akan memberantas korupsi sekalipun kandidat tidak menyatakan demikian. Kedua, kualitas simbolis, yakni kualitas kepribadian seseorang yang berkaitan dengan integritas diri, ketegasan, ketaatan pada norma, dan aturan, sikap merakyat, dan sebagainya. Dengan demikian, bagaimana membangkitkan sentiment positif kepada benak pemilih sehingga dapat mempengaruhi mereka dalam menentukan pilihan adalah persoalan pokok yang menjadi dasar dalam setiap aktifitas kampanye
Popularitas adalah modal utama bagi kandidat yang maju dalam pemilihan langsung pilpres ini. Aspek popularitas ini lah yang memberikan perbedaan yang signifikan antara calon incumbent dengan non-Incumbent. Aspek popularitas ini dengan mudah dapat diraih oleh calon incumbent. Kunjungan kerja ke daerah-daerah pun bisa dibungkus oleh incumbent menjadi kampanye untuk semakin memantapkan dirinya.
Hanya saja politik bukan saja menyangkut persoalan popularitas tapi juga membutuhkan tim yang solid. Dalam konteks multi partai tentunya kesolidan dari partai rekanan koalisi menjadi penting, karena asumsinya adalah partai-partai tersebut merupakan membawa suara konstituennya. Dalam konteks ini SBY dan Partai Demokrat perlu menjaga kesolidan koalisinya.
Menurut Budje dan Laver, koalisi sangat berkaitan dengan asumsi dasar tentang motivasi dari para aktor yang terlibat dalam politik. Teori koalisi menitik beratkan pada aspek ‘pembagian nilai’ seperti motivasi politisi untuk terlibat langsung dalam kekuasaan, prestise, ataupun untuk mempengaruhi outputs dari kebijakan penguasa. Artinya, keputusan yang diambil oleh partai politik dalam mengusung seorang calon pasti akan mempertimbangkan aspek kepentingan-kepentingan. Dalam konteks ini partai partai yang terlibat koalisi cenderung akan mempertimbangkan aspek keuntungan dari sekian banyak pilihan yang tersedia. Dan sudah barang tentu, SBY juga harus tetap mempertimbangkan aspek kepentingan dari rekanan koalisinya.
Persoalan yang kemudian menyeruak adalah keputusan SBY yang menggaet calon dari non-partai, Budiono. Bisa dimaklumi bahwa keputusan tersebut lebih bersifat keinginan SBY untuk membangun pemerintahan system presidensial yang kuat. Tanpaknya SBY beranjak dari pengalaman sebelumnya bahwa, wakil presiden yang berasal dari partai akan membawa dua kepentingan yakni kepentingan pemerintahan dan kepentingan partai. Dengan demikian, asumsinya calon non-partai akan mampu mengurangi tendensi politis tersebut.
Keadaan ini lah yang menimbulkan ketidaknyamanan dari partai rekanan koalisinya, seperti PKS. PKS bahkan pernah mengancam akan keluar dari koalisi karena dianggap SBY telah mengambil keputusan sepihak tanpa melibatkan partai koalisinya. Meskipun akhirnya keadaan mampu kembali tenang namun, ketenangan tersebut tidak serta merta menghilangkan ketegangan sebelumnya, karena tidak banyak juga fungsionaris partai yang tidak setuju “menyeberang” ke calon yang lain, misalnya yang terjadi pada beberapa fungsionaris PAN. Hal ini juga menunjukkan bahwa koalisi SBY terancam rentan dengan perpecahan karena SBY dianggap terlalu sombong terhadap tingginya popularitasnya. Padahal tim yang solid juga menjadi kebutuhan yang tidak dapat dilepaskan.
Hal ini kalau tidak disikapi dengan sikap arif dalam arti SBY dapat memberikan win-win solution kepada partai lain akan berdampak pada penurunan popularitas bahkan lebih, dikarenakan tidak solidnya tim partai yang terlibat, karena partai-partai yang terlibat tentu juga membentuk tim pemenangan. Dalam arti, koalisi partai tersebut jangan hanya terlihat kuat di luar tetapi keropos di dalam.
Offensive dan defensive : konsekuensi yang dapat Muncul
Menurut Lock dan Harris, aktivitas politik adalah aktivitas memposisikan dan mereposisikan diri. Berdasarkan hal ini, setiap calon tentunya dituntut untuk selalu mengamati dinamika politik yang sedang berkembang sehingga dapat digunakan sebagai guidance untuk menentukan tema, posititioning dsb. Penggunaan media tentunya menjadi hal yang urgen terutama untuk mentransformasikan ide kepada khalayak terutama untuk memproduksi citra yang diinginkan.
Piliang mengatakan, terdapat tiga model produksi ide di dalam dunia politik: pertama, presentasi, yang didalamnya aktor-aktor politik menggunakan tubuh, lingkungan, dan obyek-obyek fisik dalam rangka menggalang kekuatan politik, misalnya melalui arak-arakan, pengerahan massa, pidato politik, kekuatan kharisma. Kedua, representasi, penggunaan berbagai bentuk media representasi dalam rangka merepresentasikan ide kekuatan politik yang tidak dapat dihadirkan. Misalnya, representasi seorang figure calon tertentu – calon yang hendak diusung — dalam bentuk poster, kalender, dan sebagainya. Ketiga, posrepresentasi, yaitu pembentukan ide politik murni melaui teknologi media mutakhir ( di layar TV, Internet, dan sebagainya). Dalam posrepresentasi, politik adalah dunia yang di dalamnya setiap ‘ada’ diubah menjadi ‘ada citra’.
Harus disadari juga bahwa terdapat persaingan politik disana dalam arti calon yang lain juga melakukan hal yang sama. Bagi SBY sebagai calon incumbent tentunya menghadapi saingan yang sangat berat karena ia adalah calon yang paling popular dan sudah barang tentu, calon lain pasti akan berusaha mencari titik lemahnya sehingga paling tidak akan mengurangi popularitasnya dan akhirnya berusaha mengalahkannya dalam pilpres.
Peter Schroder membagi strategi dalam dua bagian yakni strategi ofensif (menyerang) dan strategi defensif (bertahan). strategi ofensif adalah menampilkan perbedaan yang jelas dan menarik antara ‘kita’ dengan ‘mereka’ para pesaing yang ingin diambil para pemilihnya. Karena itu, harus terdapat perbedaan positioning yang jelas.
Sedangkan strategi defensif adalah strategi untuk mempertahankan para konstituennya. Karena itu dikenal dengan strategi mempertahankan pasar. Dalam kasus ini partai ataupun calon akan memelihara pemilih tetap mereka dan memperkuat pemahaman para pemilih musiman mereka akan situasi yang sedang berlangsung.
Menghadapi para oposisi yang menyerang mereka, pemerintah (incumbent) akan berusaha mengaburkan perbedaan yang ada dan membuat perbedaan tersebut sulit dikenali. Dalam kasus pilpres, calon incumbent akan mengambil sikap yang bertentangan dari kelompok-kelompok yang menerapkan strategi ofensif.
Dalam hubungannya dengan multiplikator, calon incumbent akan menjalankan sebuah tawaran insentif kepada kelompoknya dan para pemilihnya. Data-data tentang keberhasilannya selama menjabat disebarkan dan juga dijadikan sebagai alat untuk menggaet pemilih dan menjaga eksistensinya.
Kampanye politik memang sering kali akrab dengan retorika, dengan membuat kemasan isyu menjadi menu yang paling menarik perhatian massa. Upaya ini harus dilakukan secara simultan, dari masa pra-kampanye sampai kampanye – dalam upaya untuk menanamkan dibenak para pemilih akan gambaran program-program dan pencitraan calon. Roger dan Storey mendefinisikan kampanye sebagai “serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan menciptakan efek tertentu kepada sejumlah khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu”. Karena itu, usaha peningkatan citra dan pengenalan program menjadi sangat urgen.
Hal ini telah sangat terlihat dalam masa awal persaingan para capres sekarang ini. Menurut Nimmo usaha yang dilakukan para kandidat disebut dengan pufferi , Misalnya yang dilakukan oleh Yusuf Kalla yang menganggap dirinya dan Golkar hanya dijadikan “bemper” bagi pemerintah, ia juga berusaha mencitrakan dirinya sebagai seorang yang cepat dalam mengambil keputusan. Pernyataan-pernyataan seperti ini pada dasarnya berusahan memperkenalkan dirinya bahwa prestasi pemerintahan itu bukan hanya milik Presiden (SBY) melainkan juga prestasi orang lain, dalam hal ini Wakil Presiden. Kemudian ia juga mencoba menampilkan dirinya sebagai sosok yang memilik kelebihan dibandingkan SBY yakni “tidak lambat dalam mengambil keputusan”. Begitu juga calon lain, Megawati, yang menganggap pemerintah telah melakukan intervensi terhadap banyaknya dari masyarakat yang tidak mendapatkan hak pilih dalam pemilu dan juga menganggap pemerintah menganut ideology neo-lieral dalam hal kebijakan ekonominya, ditambahlagi dengan keputusan SBY yang menggaet Budiono yang dianggap sangat pro dengan kebijakan neo-liberal yang sangat mengutamakan ekonomi pasar dan mengabaikan sector riil dari ekonomi. Dengan kata lain, “bagaimanapun kami yang terbaik”.
Melihat banyaknya “serangan” yang berusaha mendiskreditkan dirinya, SBY berusaha memberikan sanggahan misalnya dengan cara melakukan sanggahan atas banyaknya masyarakat ang tidak mendapatkan hak pilih yang menurutnya hal itu murni berkaitan dengan persoalan tekhnis, dan itu menjadi persoalan KPU. Ia berusaha menepis isyu bahwa pemerintah telah melakukan manipulasi atas kasus ini.
Ia juga dengan giat menyebutkan keberhasilan pemerintah dalam mensejahterakan rakyat, misalnya ia membuat kebijakan pemberian BLT, PNPM, dll., selalu disebut-sebut dalam setiap kampanyenya. “Lanjutkan” adalah jargon dari SBY untuk menembus dan mempertahankan pasar agar rakyat kembali memilih dirinya dalam pilpres mendatang. Ia juga berusaha menyerang balik Jusuf Kalla dan Golkar yang menganggap mereka telah meninggalkan SBY karena maju sebagai capres.
Hanya saja terlihat bahwa SBY terlau responsive terhadap serangan dari calon lain bahkan ia tidak jarang menyerang balik dengan ucapan yang tidak layak diucapkan, misalnya pada pidatonya pada saat pengumuman kemenangan partai Demokrat di Cikeas. ”memangnya SBY tidak punya apa-apa”. Dari ucapan tersebut dapat muncul berbagai spekulasi misalnya SBY ketakutan, sombong, angkuh dll. Hal ini tentunya dapat berakibat buruk bagi persoalan citranya sebagai seorang figure yang tenang, cermat, cerdas dlsb.
Terlalu responsive terhadap kritikakan orang calon lain dapat berakibat buruk bagi dirinya. Hal itu lah yang sebenarnya menjadi harapan lawan politiknya karena ia akan dapat melakukan serangan balik yang berdasarkan ucapan SBY sebelumnya. Hal yang dapat muncul kemudian adalah saling serang menyerang yang tentunya akan semakin membuat runyam kondisi politik kita. Yang sangat dikhawatirkan adalah dapat munculnya kemelut di arus bawah yang terpancing akan kondisi politik nasional akibat hal tersebut. Sebab, bagaimanapun, diantara para pendukung masing-masing calon terdapat kelompok-kelompok pendukung militant yang setiap saat dapat tersulut bahkan dapat terjadi konflik – meskipun sampai saat ini kekhawatiran tersebut belum terjadi.
Yang lebih penting bagi SBY dalam sisa waktunya ini adalah menyelesaikan masa jabatannya dan sekaligus membuat program-program yang pro terhadap rakyat, karena masa yang singkat ini dapat menjadi hal yang luar biasa apabila ia mampu membuat program-program yang populis untuk kembali mengantarkannya menjadi presiden kembali. Namun hal sebaliknya dapat terjadi apabila ia membuat kesalahan-kesalahan karena masa singkat kinerja pemerintah selalu dalam pantauan rakyat. Terlalalu responsive atas kritikan lawan politik malah akan dapat menjatuhkan kredibilitas dan tingkat elektabilitasnya sendiri.
Kesimpulan
Dunia politik adalah dunia yang rumit karena tidak hanya actor berusaha untuk memenuhi kebutuhannya akan kekuasaan – presiden – tetapi juga harus mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan rekanan koalisinya. Tidak heran apabila ditemukan hubungan antagonistic diantara para aktornya karena tidak ratanya “alokasi nilai yang diberikan”. Tidak ada yang sempurna memang, tapi kepentingan tersebut harus tetap terakomodir secara proforsinal.
SBY telah menentukan calon wakilnya dalam pilpres nanti, Budiono, dan telah didaftarkan ke KPU. Keputusan tersebut secara otomatis telah menggagalkan asa dari partai lain untuk menjadi pendamping SBY sebagai Wakil Presiden. Yang harus dilakukan oleh SBY adalah tetap menjaga agar koalisi yang terbangun tetap solid dalam rangka memenangkan dirinya dan untuk mengamankan parlemen apabila ia terpilih kembali. Komunikasi dialogis dengan rekanan koalisi harus tetap dilakukan agar tidak timbul perpecahan karena bagaimanapun partai memiliki andil dalam rang mendukseskan kemenangannya.
Yang tidak kalah penting adalah mensosialisasikan sosok Budiono yang dianggap kurang popular karena ia dianggap sebagai figure sentral dari ekonomi neo-liberal di Indonesia. SBY-Budiono harus mampu menjelaskan ke masyarakat akan kebijakan ekonomi yang akan diambil apabila mereka terpilih yakni ekonomi yang mementingkan sector riel, bukan hanya pasar. Paling tidak, hal itu dapat menangkis “kritikan” yang dilakukakan oleh calon lain yang menganggap Budiono sebagai penganut ekonomi neo-liberal.
Adalah wajar apabila SBY menjadi sasaran “tembak” untuk menjatuhkan kredibilitas, merusak citranya, dari para lawan politiknya karena setiap calon pasti akan berusaha untuk meraih kemenangan dalam pilpres nanti. SBY jangan terlalu responsive terhadap badai kritikan yang mengarah kepadanya, melainkan harus jeli melihat mana yang layak untuk diberikan klaarifikasi dan mana yang tidak. Lebih baik SBY menyelesaikan tugas pemerintahannya sambil membuat terobosan-terobosan program populis. Itu lebih baik dari pada ia menghabiskan waktu untuk membalas kritikan dari dari calon lain.
Daftar pustaka
Bruce, David. Theory of Party Competition. Bristol: John Wiley & Sons. Ltd, 1976.
Budge dan M.J. Laver, Ian. “Coalition Theory, Government Policy, and Party Policy”. dalam Ian Budge dan M.J. Laver (eds.). Party Policy and Government Coalitions. London; The Macmillan Press LTD, 1992.
Lasswell, Harold. Politics: Who Gets What, When, and How?. New York: Meridian Books, 1958.
Firmanzah. Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007.
———., Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era Demokrasi. Jakarta : yayasan Obor Indonesia, 2008.
Heywood, Andrew. Politics. New York : PALGRAVE, 2002.
Harrop dan William L. Miller, Martin. Elections and Voters: A Comparative Introduction. London : The Macmillan Press, 1987.
Nimmo, Dan. Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan, dan Media. Terj., Tjun Surjaman. Bandung: Remaja rosdakarya Offset, 1993.
———., dan R.L. Savage, Dan. Candidate and Their Image: Conceps, Methods, and Findings. Santa Monica: Goodyear, 1976.
Nursal, Adman. Political Marketing; Strategi Memenangkan Pemilu. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Piliang, Yasraf A. Tranpolitika: Dinamika Politik di Dalam Era Virtualitas. Yogyakarta & Bandung: Jalasutra, 2005.
Schroder, Peter. Strategi Politik. Alih bahasa, Denise Joyce Matindas. Jakarta : Friedrich Naumann Stiftung, 2003.
Venus, Antar. Manajemen Kampanye: Panduan Teoretis dan Praktis dalam Mengefektifkan Komunikasi Kampanye. Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2004.
Ward, Hugh. “Rational Choice Theory”. dalam David Mars dan Gerry Stocker (eds.) Theory and Methods in Political Sciene. London; Macmillan Press, 1995.
KOMPAS edisi tanggal 10 Mei 2009
KOMPAS edisi Minggu 17 Mei 2009.
Lingkaran Survey Indonesia. Incumbent dan Pilkada. Kajian Bulanan. Edisi 02 Juni 2007.
Komentar Terbaru