Pendahuluan
Tulisan ini mengkaji tentang persoalan yang sedang hangat dalam dunia politik nasional sekarang ini yakni “hiruk-pikuk” politik menjelang pemilu presiden – selanjutnya disingkat pilpres – 2009, yang memfokuskan pada gerak politik Susilo bambang Yudhoyono (SBY) dalam aktifitasnya menjelang pilpres.
Dalam sebuah Negara demokrasi modern rotasi kekuasaan dan proses yang menyertainya – pemilu presiden — menjadi pra-syarat mutlak bagi proses penyelenggaraan Negara. Karena dengan adanya proses pemilihan akan semakin membatasi masa kekuasaan pemimpin karena rakyat memiliki hak untuk menentukan pilihan mereka bagi siapa yang berhak untuk menjadi pemimpin mereka untuk masa lima tahun mendatang, karena itu, proses pilpres merupakan hal yang sangat menarik untuk selalu diikuti. Bagi incumbent pemilu presiden adalah salah satu indicator tingkat legitimasi presiden yang sedang berkuasa, dalam arti apabila ia dianggap sukses maka besar kemungkinan dirinya akan kembali terpilih, sedangkan apabila sebaliknya, maka ia tidak akan dipilih.
Terlepas dari pada itu, dengan adanya pilpres setidaknya membuka peluang bagi tokoh-tokoh yang memiliki kemampuan – memiliki sumberdaya politik, social, maupun financial – untuk ikut berkompetisi dalam memperebutkan kekuasaan. Berkaitan dengan itu maka muncul nama-nama seperti Yusuf Kalla, maupun Megawati untuk ikut berkompetisi.
Menurut Harold Lasswell, studi tentag politik pada dasarnya adalah studi tentang pengaruh dan orang yang berpengaruh. Teori ini kiranya tepat untuk menggambarkan bagaimana dinamika politik secara empirik. Politik adalah merupakan pertarungan kepentingan, dan pembagian nilai-nilai bagi actor-aktor yang terlibat dalam pertarungan politik tersebut – who gets what, when, and how –. Dalam kasus ini adalah, bagaimana perilaku politik SBY berkaitan dengan persoalan citra dan ralasinya dengan kelompok kepentingan lainnya – partai-partai koalisi – sehingga dapat menjalin hubungan yang solid, dan perilakunya menghadapi lawan politiknya.
Konstalasi Politik Menjelang Pilpres
Indonesia baru saja melewati pemilu legislative yang berlangsung tanggal 9 April 2009 dengan sukses, meskipun masih didapati beberapa persoalan mendasar seperti kisruhnya Daftar Pemilih Tetap (DPT). Meskipun demikian, pemilu tersebut menjadi sebuah katalisator untuk dapat mengukur konstalasi politik selanjutnya, karena besar kecilnya perolehan suara suatu partai dalam pemilu legislative akan memberikan bargaining partai dalam pilpres setelahnya.
Hasil penghitungan manual yang dikeluarkan oleh KPU, tanggal 9 Mei 2009, hanya 9 partai yang lolos parliamentary threshold 2,5 persen dan menempatkan Partai Demokrat menduduki peringkat pertama dengan perolehan 20, 85 %, disusul oleh Golkar dengan perolehan suara 14, 45%, dan ditempat ke tiga meraih 14, 03%. Persentase kursi di DPR menempatkan Partai Demokrat meraih 150 kursi (26,43%), partai Golkar meraih 108 kursi (19,29%), dan PDIP mendapatkan 93 kursi DPR (16,61%). Hal ini membawa sedikit perubahan dalam perjalanan politik nasional bahwa Partai Demokrat yang baru menjalani dua kali pemilu sudah mampu menggeser kemapanan partai-partai lama – Golkar, PDIP, PPP, PKB, dlsb — yakni menjadi pemenang dalam pemilu. Ini tentunya menjadi angin segar bagi politik Indonesia bahwa, lama tidaknya suatu partai belum tentu ia dapat terus mempertahankan dominasinya karena persoalan figure, ataupun platform suatu partai sangat menentukan. Karena itu, perlu dilakukan kampanye politik terus menerus, dalam arti partai dituntut untuk mengerahkan energi untuk selalu memberikan terobosan-terobosan program populis, di luar masa kampanye pemilu, karena kampanye pemilu dilakukan hanya menjelang pemilu saja.
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tentu saja sangat gembira melihat hasil tersebut karena ia langsung dapat mencalonkan kembali dalam pilpres nanti, meskipun tanpa jalur koalisi dengan partai lain. Sementara partai ataupun tokoh-tokoh lain yang ingin mencalonkan diri harus berusaha untuk mencari rekanan koalisi untuk mencukupkan angka 20% sebagai syarat keikutsertaan dalam pilpres. Keadaan ini yang membuat tokoh-tokoh yang sebelumnya sangat giat dan jauh-jauh hari telah memproklamirkan diri untuk maju dalam pilpres seperti Sutioso, Sultan Hamengkubuwono X, dll, mundur secara teratur. Sehingga hanya meniggalkan beberapa saja yang masih terus beredar dalam bursa capres, yakni Yusuf Kalla – wakil presiden — yang telah memproklamirkan untuk maju berpasangan dengan Wiranto, Megawati yang akhirnya berpasangan dengan Prabowo Subianto.
Yusuf Kalla adalah Wakil Presiden yang “pecah kongsi” dengan SBY sedangkan pasangannya adalah Wiranto, ketua partai Hati Nurani Rakyat, seorang mantan Panglima ABRI dan juga mantan calon Presiden yang kalah pada pilpres tahun 2004 yang pada waktu itu diusung oleh partai Golkar. Megawati adalah seorang mantan Presiden ke 5 yang kembali maju dalam pilpres karena kalah dalam pilpres 2004 sedangkan pasangannya Prabowo Subianto – ketua Dewan Pembina Gerindra — adalah mantan menantu Soeharto, mantan Panglima Kostrad yang diberhentikan karena terbentur kasus penembakan mahasiswa kerusuhan Semanggi tahun 1998. tokoh ini dikenal sangan controversial karena ia dianggap sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap kasus terbunuhnya mahasiswa dalam kerusuhan 1998. Sedangkan calon ketiga adalah SBY sendiri dan berpasangan dengan Budiono. Budiono adalah orang non-partai yang karirnya banyak dihabiskan di dunia akademik sebagai dosen UGM dan juga seorang mantan Menko Perekonomian dan juga mantan Gubernur Bank Indonesia.
Ketiga pasangan ini lah yang nantinya akan bersaing menuju RI 1 dan RI 2 untuk masa jabatan 2009-2014. Ketiganya adalah tokoh-tokoh yang telah popular atau dikenal oleh masyarakat luas. Dalam hal popularitas tentunya SBY unggul di atas calon lainnya karena ia adalah incumbent sedangkan yang lainnya adalah para penantang yang berusaha untuk mengalahkan incumbent dalam perburuan kursi RI 1 dan RI 2.
SBY, popularitas, dan koalisi
Menurut Yasraf A. Piliang, dunia politik tidak hanya ruang tempat lalu-lalangnya entitas Fisik dan psikis (aktor, sarana, ide, obyek) akan tetapi yang lebih penting lagi adalah gagasan, ide, atau konsep. Politik tidak saja bagaimana aktor, materi, obyek (sumberdaya fisik) dimobilisir dalam rangka mendapatkan kekuasaan, akan tetapi yang lebih penting adalah bagaimana ide-ide diproduksi, dieksploitasi, dimanipulasi, direkayasa, dan dimobilisi dalam rangka memenangkan penerimaan Publik.
Menurut Bruce, terdapat dua aktor dalam persaingan partai yaitu para pemilih (voters) dan partai politik. Karena itu partai harus tetap mempertimbangkan isyu-isyu yang sangat berkaitan dengan kepentingan rakyat karena mereka adalah pengambil keputusan bagi peningkatan suara partai yang bersangkutan. Para pemilih dalam melakukan pilihannya terhadap suatu partai politik setidaknya sangat dipengaruhi oleh dua hal : pertama, platform politik dari suatu partai yang bersangkutan, misalnya berkaitan dengan ideologi politiknya. Partai dituntut tidak hanya mengetengahkan program-program politik secara mendetil namun juga secara umum ‘ideologis’ agar para pemilih dengan gampang dapat mengidentifikasi partai sesuai dengan preferensi mereka. Kedua, track record mereka sebelumnya. Hal ini terutama akan dijadikan ‘gudence’ bagi mereka akan gambaran bagi suatu partai. Karena itu perlu dilakukan kampanye politik yang terus menerus, ataupun manuver politik sehingga akan terbentuk citra yang melekat di benak masyarakat tentang gambaran suatu partai politik yang dapat membedakannya dari partai yang lain.
Partai politik dituntut untuk terus melakukan kampanye politik total untuk meraih simpati pemilih, dalam arti masyarakat adalah pengambil keputusan dalam pemilihan, maka aktivitas organisasi maupun individu-individu di dalamnya sudah barang tentu tetap dalam monitor masyarakat. Sedangkan kampanye pemilu hanya dilakukan secara periodik dan akan meningkat intensitasnya pada saat menjelang pemilu.
Dalam kasus ini peran positioning dan ideologi menjadi penting sehingga akan memberikan kesan yang kuat di masyarakat tentang gambaran suatu partai. Sehingga image positif akan tercipta dalam benak pemilih sehingga mereka tidak ragu untuk memberikan pilihannya pada suatu partai.
Membangun image positif dan sampai di masyarakat sesuai dengan yang apa yang diharapkan suatu partai politik atau calon presiden bukanlah hal yang mudah untuk dapat dicapai. Untuk itu ada hal yang harus dilakukan secara terus menerus oleh setiap partai politik atau pun figure yang ingin mencalonkan diri dalam pilpres, yaitu komunikasi politik. Komunikasi politik menurut Firmanzah adalah usaha terus menerus untuk melakukan komunikasi dialogis dengan masyarakat. Komunikasi politik tidak hanya dilakukan melalui kampanye politik melainkan melekat juga pada pemberitaan dan publikasi atas apa saja yang telah, sedang dan akan dilakukan oleh partai politik ataupun calon yang bersangkutan. Komunikasi politik adalah menciptakan kesamaan pemahaman politik, misalnya, pesan, permasalahan, isyu, ataupun kebijakan politik, antara satu partai dengan konstituen. Komunikasi di sini dilihat sebagai komunikasi dua arah, bukan satu arah – top down.
Dari awal kemunculannya SBY dalam panggung politik nasional, SBY adalah sosok yang memiliki kekuatan dalam hal citra yang kuat. Meskipun ia lahir dari AD yang sebelumnya memiliki citra yang kurang baik, karena pengalamannya selama masa Soeharto, namun, sosok SBY lebih dianggap sebagai sosok Jendral intelektual, bersahaja, dll. Ia juga memiliki kemampuan verbal yang sangat baik, kata-katanya tertata dengan rapi, dan santun. Karena itu, SBY dianggap berbeda dengan jendral yang lain.
Pengalamannya selama menjadi Presiden semakin memantapkan citranya sebagai tokoh yang “peduli” dengan rakyat kecil. Ia dianggap peduli dengan rakyat kecil karena beberapa kebijakannya dianggap pro mereka seperti, membuat kebijakan Bantuan Langsung Tunai (BLT), maupun PNPM Mandiri, dlsb. Kebijakan tersebut, bagi masyarakat miskin, dianggap sebagai kebijakan yang sangat populis, dan sebagai wujud dari keberpihakan pemerintah kepada rakyat kecil. Meskipun, pada dasarnya, kebijakan tersebut sebenarnya usaha “carimuka” dari pemerintah setelah menaikkan harga BBM karena dipengaruhi oleh naiknya harga minyak dunia. Bagaimanapun, kebijakan menaikkan harga BBM adalah sebuah kebijakan yang sangat tidak populis, karena naiknya harga BBM akan berdampak pada sekto-sektor lainnya, misalnya harga.
Bagaimanapun, 40 juta rakyat miskin merupakan asset yang sangat potensial untuk dipertahankan. Karena itu, SBY adalah orang yang jeli atas situasi ini – tanpa menegasikan peran Jusuf Kalla karena . Tidak heran kiranya partai Demokrat mendapatkan peningkatan suara yang sangat signifikan dalam pemilu legislative, bahkan peningkatan suara tersebut tidak hanya terpusat di perkotaan lagi melainkan telah menembus suara masyarakat pedesaan.
Orientasi utama pemilih memiliki dua orientasi utama yakni, orientasi isu, dan orientasi kandidat. Orientasi isu sangat berkaitan dengan apa-apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang sedang dihadapi masyarakat. Sementara orientasi kandidat mengacu pada pribadi kandidat, yakni bagaimana membangkitkan sentiment positif kepada benak pemilih sehingga dapat mempengaruhi mereka dalam menentukan pilihan.
Tingginya popularitas SBY juga tidak dapat dilepaskan dari keuntungan langsung maupun tidak langsung yang didapatnya selaku Presiden (incumbent). Keuntungan langsung bagi SBY adalah dalam bentuk popularitas dan publisitas, dalam arti gambarnya akan mudah ditemukan disetiap kantor-kantor pemerintah, dll. Sedangkan keuntungan tidak langsung didapatnya dalam bentuk aktivitasnya selaku presiden RI. Ia dapat melakukan kampanye politik sepanjang masa, dalam arti akstivitasnya pada saat menjabat pada dasarnya adalah sebuah kampanye. Semakin sukses ia di mata mata rakyat maka semakin popular ia.
Kualitas kandidat memiliki dua variable: pertama, kualitas instrumental yakni tindakan yang diyakini pemilih akan direalisasikan oleh kandidat bila kelak menang dalam pilpres. Misalnya keyakinan pemilih bahwa seorang kandidat akan memberantas korupsi sekalipun kandidat tidak menyatakan demikian. Kedua, kualitas simbolis, yakni kualitas kepribadian seseorang yang berkaitan dengan integritas diri, ketegasan, ketaatan pada norma, dan aturan, sikap merakyat, dan sebagainya. Dengan demikian, bagaimana membangkitkan sentiment positif kepada benak pemilih sehingga dapat mempengaruhi mereka dalam menentukan pilihan adalah persoalan pokok yang menjadi dasar dalam setiap aktifitas kampanye
Popularitas adalah modal utama bagi kandidat yang maju dalam pemilihan langsung pilpres ini. Aspek popularitas ini lah yang memberikan perbedaan yang signifikan antara calon incumbent dengan non-Incumbent. Aspek popularitas ini dengan mudah dapat diraih oleh calon incumbent. Kunjungan kerja ke daerah-daerah pun bisa dibungkus oleh incumbent menjadi kampanye untuk semakin memantapkan dirinya.
Hanya saja politik bukan saja menyangkut persoalan popularitas tapi juga membutuhkan tim yang solid. Dalam konteks multi partai tentunya kesolidan dari partai rekanan koalisi menjadi penting, karena asumsinya adalah partai-partai tersebut merupakan membawa suara konstituennya. Dalam konteks ini SBY dan Partai Demokrat perlu menjaga kesolidan koalisinya.
Menurut Budje dan Laver, koalisi sangat berkaitan dengan asumsi dasar tentang motivasi dari para aktor yang terlibat dalam politik. Teori koalisi menitik beratkan pada aspek ‘pembagian nilai’ seperti motivasi politisi untuk terlibat langsung dalam kekuasaan, prestise, ataupun untuk mempengaruhi outputs dari kebijakan penguasa. Artinya, keputusan yang diambil oleh partai politik dalam mengusung seorang calon pasti akan mempertimbangkan aspek kepentingan-kepentingan. Dalam konteks ini partai partai yang terlibat koalisi cenderung akan mempertimbangkan aspek keuntungan dari sekian banyak pilihan yang tersedia. Dan sudah barang tentu, SBY juga harus tetap mempertimbangkan aspek kepentingan dari rekanan koalisinya.
Persoalan yang kemudian menyeruak adalah keputusan SBY yang menggaet calon dari non-partai, Budiono. Bisa dimaklumi bahwa keputusan tersebut lebih bersifat keinginan SBY untuk membangun pemerintahan system presidensial yang kuat. Tanpaknya SBY beranjak dari pengalaman sebelumnya bahwa, wakil presiden yang berasal dari partai akan membawa dua kepentingan yakni kepentingan pemerintahan dan kepentingan partai. Dengan demikian, asumsinya calon non-partai akan mampu mengurangi tendensi politis tersebut.
Keadaan ini lah yang menimbulkan ketidaknyamanan dari partai rekanan koalisinya, seperti PKS. PKS bahkan pernah mengancam akan keluar dari koalisi karena dianggap SBY telah mengambil keputusan sepihak tanpa melibatkan partai koalisinya. Meskipun akhirnya keadaan mampu kembali tenang namun, ketenangan tersebut tidak serta merta menghilangkan ketegangan sebelumnya, karena tidak banyak juga fungsionaris partai yang tidak setuju “menyeberang” ke calon yang lain, misalnya yang terjadi pada beberapa fungsionaris PAN. Hal ini juga menunjukkan bahwa koalisi SBY terancam rentan dengan perpecahan karena SBY dianggap terlalu sombong terhadap tingginya popularitasnya. Padahal tim yang solid juga menjadi kebutuhan yang tidak dapat dilepaskan.
Hal ini kalau tidak disikapi dengan sikap arif dalam arti SBY dapat memberikan win-win solution kepada partai lain akan berdampak pada penurunan popularitas bahkan lebih, dikarenakan tidak solidnya tim partai yang terlibat, karena partai-partai yang terlibat tentu juga membentuk tim pemenangan. Dalam arti, koalisi partai tersebut jangan hanya terlihat kuat di luar tetapi keropos di dalam.
Offensive dan defensive : konsekuensi yang dapat Muncul
Menurut Lock dan Harris, aktivitas politik adalah aktivitas memposisikan dan mereposisikan diri. Berdasarkan hal ini, setiap calon tentunya dituntut untuk selalu mengamati dinamika politik yang sedang berkembang sehingga dapat digunakan sebagai guidance untuk menentukan tema, posititioning dsb. Penggunaan media tentunya menjadi hal yang urgen terutama untuk mentransformasikan ide kepada khalayak terutama untuk memproduksi citra yang diinginkan.
Piliang mengatakan, terdapat tiga model produksi ide di dalam dunia politik: pertama, presentasi, yang didalamnya aktor-aktor politik menggunakan tubuh, lingkungan, dan obyek-obyek fisik dalam rangka menggalang kekuatan politik, misalnya melalui arak-arakan, pengerahan massa, pidato politik, kekuatan kharisma. Kedua, representasi, penggunaan berbagai bentuk media representasi dalam rangka merepresentasikan ide kekuatan politik yang tidak dapat dihadirkan. Misalnya, representasi seorang figure calon tertentu – calon yang hendak diusung — dalam bentuk poster, kalender, dan sebagainya. Ketiga, posrepresentasi, yaitu pembentukan ide politik murni melaui teknologi media mutakhir ( di layar TV, Internet, dan sebagainya). Dalam posrepresentasi, politik adalah dunia yang di dalamnya setiap ‘ada’ diubah menjadi ‘ada citra’.
Harus disadari juga bahwa terdapat persaingan politik disana dalam arti calon yang lain juga melakukan hal yang sama. Bagi SBY sebagai calon incumbent tentunya menghadapi saingan yang sangat berat karena ia adalah calon yang paling popular dan sudah barang tentu, calon lain pasti akan berusaha mencari titik lemahnya sehingga paling tidak akan mengurangi popularitasnya dan akhirnya berusaha mengalahkannya dalam pilpres.
Peter Schroder membagi strategi dalam dua bagian yakni strategi ofensif (menyerang) dan strategi defensif (bertahan). strategi ofensif adalah menampilkan perbedaan yang jelas dan menarik antara ‘kita’ dengan ‘mereka’ para pesaing yang ingin diambil para pemilihnya. Karena itu, harus terdapat perbedaan positioning yang jelas.
Sedangkan strategi defensif adalah strategi untuk mempertahankan para konstituennya. Karena itu dikenal dengan strategi mempertahankan pasar. Dalam kasus ini partai ataupun calon akan memelihara pemilih tetap mereka dan memperkuat pemahaman para pemilih musiman mereka akan situasi yang sedang berlangsung.
Menghadapi para oposisi yang menyerang mereka, pemerintah (incumbent) akan berusaha mengaburkan perbedaan yang ada dan membuat perbedaan tersebut sulit dikenali. Dalam kasus pilpres, calon incumbent akan mengambil sikap yang bertentangan dari kelompok-kelompok yang menerapkan strategi ofensif.
Dalam hubungannya dengan multiplikator, calon incumbent akan menjalankan sebuah tawaran insentif kepada kelompoknya dan para pemilihnya. Data-data tentang keberhasilannya selama menjabat disebarkan dan juga dijadikan sebagai alat untuk menggaet pemilih dan menjaga eksistensinya.
Kampanye politik memang sering kali akrab dengan retorika, dengan membuat kemasan isyu menjadi menu yang paling menarik perhatian massa. Upaya ini harus dilakukan secara simultan, dari masa pra-kampanye sampai kampanye – dalam upaya untuk menanamkan dibenak para pemilih akan gambaran program-program dan pencitraan calon. Roger dan Storey mendefinisikan kampanye sebagai “serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan menciptakan efek tertentu kepada sejumlah khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu”. Karena itu, usaha peningkatan citra dan pengenalan program menjadi sangat urgen.
Hal ini telah sangat terlihat dalam masa awal persaingan para capres sekarang ini. Menurut Nimmo usaha yang dilakukan para kandidat disebut dengan pufferi , Misalnya yang dilakukan oleh Yusuf Kalla yang menganggap dirinya dan Golkar hanya dijadikan “bemper” bagi pemerintah, ia juga berusaha mencitrakan dirinya sebagai seorang yang cepat dalam mengambil keputusan. Pernyataan-pernyataan seperti ini pada dasarnya berusahan memperkenalkan dirinya bahwa prestasi pemerintahan itu bukan hanya milik Presiden (SBY) melainkan juga prestasi orang lain, dalam hal ini Wakil Presiden. Kemudian ia juga mencoba menampilkan dirinya sebagai sosok yang memilik kelebihan dibandingkan SBY yakni “tidak lambat dalam mengambil keputusan”. Begitu juga calon lain, Megawati, yang menganggap pemerintah telah melakukan intervensi terhadap banyaknya dari masyarakat yang tidak mendapatkan hak pilih dalam pemilu dan juga menganggap pemerintah menganut ideology neo-lieral dalam hal kebijakan ekonominya, ditambahlagi dengan keputusan SBY yang menggaet Budiono yang dianggap sangat pro dengan kebijakan neo-liberal yang sangat mengutamakan ekonomi pasar dan mengabaikan sector riil dari ekonomi. Dengan kata lain, “bagaimanapun kami yang terbaik”.
Melihat banyaknya “serangan” yang berusaha mendiskreditkan dirinya, SBY berusaha memberikan sanggahan misalnya dengan cara melakukan sanggahan atas banyaknya masyarakat ang tidak mendapatkan hak pilih yang menurutnya hal itu murni berkaitan dengan persoalan tekhnis, dan itu menjadi persoalan KPU. Ia berusaha menepis isyu bahwa pemerintah telah melakukan manipulasi atas kasus ini.
Ia juga dengan giat menyebutkan keberhasilan pemerintah dalam mensejahterakan rakyat, misalnya ia membuat kebijakan pemberian BLT, PNPM, dll., selalu disebut-sebut dalam setiap kampanyenya. “Lanjutkan” adalah jargon dari SBY untuk menembus dan mempertahankan pasar agar rakyat kembali memilih dirinya dalam pilpres mendatang. Ia juga berusaha menyerang balik Jusuf Kalla dan Golkar yang menganggap mereka telah meninggalkan SBY karena maju sebagai capres.
Hanya saja terlihat bahwa SBY terlau responsive terhadap serangan dari calon lain bahkan ia tidak jarang menyerang balik dengan ucapan yang tidak layak diucapkan, misalnya pada pidatonya pada saat pengumuman kemenangan partai Demokrat di Cikeas. ”memangnya SBY tidak punya apa-apa”. Dari ucapan tersebut dapat muncul berbagai spekulasi misalnya SBY ketakutan, sombong, angkuh dll. Hal ini tentunya dapat berakibat buruk bagi persoalan citranya sebagai seorang figure yang tenang, cermat, cerdas dlsb.
Terlalu responsive terhadap kritikakan orang calon lain dapat berakibat buruk bagi dirinya. Hal itu lah yang sebenarnya menjadi harapan lawan politiknya karena ia akan dapat melakukan serangan balik yang berdasarkan ucapan SBY sebelumnya. Hal yang dapat muncul kemudian adalah saling serang menyerang yang tentunya akan semakin membuat runyam kondisi politik kita. Yang sangat dikhawatirkan adalah dapat munculnya kemelut di arus bawah yang terpancing akan kondisi politik nasional akibat hal tersebut. Sebab, bagaimanapun, diantara para pendukung masing-masing calon terdapat kelompok-kelompok pendukung militant yang setiap saat dapat tersulut bahkan dapat terjadi konflik – meskipun sampai saat ini kekhawatiran tersebut belum terjadi.
Yang lebih penting bagi SBY dalam sisa waktunya ini adalah menyelesaikan masa jabatannya dan sekaligus membuat program-program yang pro terhadap rakyat, karena masa yang singkat ini dapat menjadi hal yang luar biasa apabila ia mampu membuat program-program yang populis untuk kembali mengantarkannya menjadi presiden kembali. Namun hal sebaliknya dapat terjadi apabila ia membuat kesalahan-kesalahan karena masa singkat kinerja pemerintah selalu dalam pantauan rakyat. Terlalalu responsive atas kritikan lawan politik malah akan dapat menjatuhkan kredibilitas dan tingkat elektabilitasnya sendiri.

Kesimpulan
Dunia politik adalah dunia yang rumit karena tidak hanya actor berusaha untuk memenuhi kebutuhannya akan kekuasaan – presiden – tetapi juga harus mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan rekanan koalisinya. Tidak heran apabila ditemukan hubungan antagonistic diantara para aktornya karena tidak ratanya “alokasi nilai yang diberikan”. Tidak ada yang sempurna memang, tapi kepentingan tersebut harus tetap terakomodir secara proforsinal.
SBY telah menentukan calon wakilnya dalam pilpres nanti, Budiono, dan telah didaftarkan ke KPU. Keputusan tersebut secara otomatis telah menggagalkan asa dari partai lain untuk menjadi pendamping SBY sebagai Wakil Presiden. Yang harus dilakukan oleh SBY adalah tetap menjaga agar koalisi yang terbangun tetap solid dalam rangka memenangkan dirinya dan untuk mengamankan parlemen apabila ia terpilih kembali. Komunikasi dialogis dengan rekanan koalisi harus tetap dilakukan agar tidak timbul perpecahan karena bagaimanapun partai memiliki andil dalam rang mendukseskan kemenangannya.
Yang tidak kalah penting adalah mensosialisasikan sosok Budiono yang dianggap kurang popular karena ia dianggap sebagai figure sentral dari ekonomi neo-liberal di Indonesia. SBY-Budiono harus mampu menjelaskan ke masyarakat akan kebijakan ekonomi yang akan diambil apabila mereka terpilih yakni ekonomi yang mementingkan sector riel, bukan hanya pasar. Paling tidak, hal itu dapat menangkis “kritikan” yang dilakukakan oleh calon lain yang menganggap Budiono sebagai penganut ekonomi neo-liberal.
Adalah wajar apabila SBY menjadi sasaran “tembak” untuk menjatuhkan kredibilitas, merusak citranya, dari para lawan politiknya karena setiap calon pasti akan berusaha untuk meraih kemenangan dalam pilpres nanti. SBY jangan terlalu responsive terhadap badai kritikan yang mengarah kepadanya, melainkan harus jeli melihat mana yang layak untuk diberikan klaarifikasi dan mana yang tidak. Lebih baik SBY menyelesaikan tugas pemerintahannya sambil membuat terobosan-terobosan program populis. Itu lebih baik dari pada ia menghabiskan waktu untuk membalas kritikan dari dari calon lain.

Daftar pustaka

Bruce, David. Theory of Party Competition. Bristol: John Wiley & Sons. Ltd, 1976.
Budge dan M.J. Laver, Ian. “Coalition Theory, Government Policy, and Party Policy”. dalam Ian Budge dan M.J. Laver (eds.). Party Policy and Government Coalitions. London; The Macmillan Press LTD, 1992.
Lasswell, Harold. Politics: Who Gets What, When, and How?. New York: Meridian Books, 1958.
Firmanzah. Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007.
———., Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era Demokrasi. Jakarta : yayasan Obor Indonesia, 2008.
Heywood, Andrew. Politics. New York : PALGRAVE, 2002.
Harrop dan William L. Miller, Martin. Elections and Voters: A Comparative Introduction. London : The Macmillan Press, 1987.
Nimmo, Dan. Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan, dan Media. Terj., Tjun Surjaman. Bandung: Remaja rosdakarya Offset, 1993.
———., dan R.L. Savage, Dan. Candidate and Their Image: Conceps, Methods, and Findings. Santa Monica: Goodyear, 1976.
Nursal, Adman. Political Marketing; Strategi Memenangkan Pemilu. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Piliang, Yasraf A. Tranpolitika: Dinamika Politik di Dalam Era Virtualitas. Yogyakarta & Bandung: Jalasutra, 2005.
Schroder, Peter. Strategi Politik. Alih bahasa, Denise Joyce Matindas. Jakarta : Friedrich Naumann Stiftung, 2003.
Venus, Antar. Manajemen Kampanye: Panduan Teoretis dan Praktis dalam Mengefektifkan Komunikasi Kampanye. Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2004.
Ward, Hugh. “Rational Choice Theory”. dalam David Mars dan Gerry Stocker (eds.) Theory and Methods in Political Sciene. London; Macmillan Press, 1995.
KOMPAS edisi tanggal 10 Mei 2009
KOMPAS edisi Minggu 17 Mei 2009.
Lingkaran Survey Indonesia. Incumbent dan Pilkada. Kajian Bulanan. Edisi 02 Juni 2007.

Oleh: masalahsosial | Mei 22, 2009

cuap-cuap pilpres

sekarang sepertinya konsentrasi seluruh bangsa ke aksi para calon presiden padahal persoalan kemiskinan, pendidikan, kriminalitas juga merupakan hal yang sangat penting. sebab persoalan tersebut merupakan persoalan riel dari kehidupan kita sebagai bangsa. semestinya, janji-janji yang diucapkan oleh para calon harus diaplikasikan dalam kehidupan nyata bukan hanya retorika untuk menarik simpati.

para calon arus menawarkan kebijakan yang pro kepada kehidupan rakyat kecil yang terus dikungkung oleh kehidupan yang semakin sulit. yang mereka inginkan anyalah bagaimana kehidupan mereka dapat lebih baik dari sekarang ditengah kehidupan yag semakin sulit, harga yang semakin meninggi, kebutuhan pendidikan yang semakin mahal, dll. kalau sudah demikian, sangat sulit bagi mereka untuk beranjak dari kehidupan semula.

dengan demikian, untuk pemimpin yang akan datang, memecahkan persoalan ini menjadi keharusan. pemimpin yang akan datang harus membuat kebijaksanaan yang pro terhadap nasib rakyat kecil disertai dengan mekanisme kontrol terhadap birokrasi yang melaksanakannya. karena kebijakan yg populis saja tidak cukup melainkan harus disertai mekanisme pengawasan agar program atau kebijaksanaan tersebut dapat berjalan dengan maksimal. misalnya, pemerintah Sumsel mengeluarkan kebijakan tentang berobat gratis bagi rakyat miskin, persoalannya, kebijakan populis tersebuttidak berjalan maksimal karena pemerintah tidak mengawasi proses pelaksanaannya dilapangan misalnya para perawat ataupun dokter di rumahsakit yang menjadi rujukan selalu menampilkan muka masam terhadap mereka, penangan yang lambat, dsb. karena itu, kebijakan pro rakyat kecil dan mekanisme kontrol yang ketat harus dilakukan.

siapa pun presiden yang terpilih harus memperhatikan persoalan ini. dan bagi rakyat diharapkan untuk jeli dalam melakukan pilihan, jangan terbuai dengan janji, penampilan, iklan dsb. mulai sekarang harus ditumbuhkan sikap kritis.

wassalam Baca Selengkapnya..

Oleh: masalahsosial | Mei 22, 2009

pemerintah dan dunia preman

Premanisme Berbaju Organisasi

Pendahuluan

Dunia perpolitikan di Palembang pasca reformasi memiliki keunikan yaitu munculnya harmonisasi kelomok-kelompok yang berasal dari kehidupan premanisme dengan pemerintah daerah. Terutama dalam lima tahun belakangan ini, dunia preman mengalami transformasi yang sangat berbeda dari sebelumnya. Sebelumnya mereka hanya berkutat pada dunia yang hanya berhubungan dalam wilayah pheriperal, pasca reformasi mereka memunculkan dirinya dalam wilayah public. Mereka sudah menampilkan dirinya dalam bentuk kelompok-kelompok multi fungsi, bisa sebagai centeng, penjaga keamanan, bahkan yang paling fenomenal mereka sudah terlibat dalam panggung politik, dan dekat dengan penguasa. Dalam dunia politik, mereka menjadi penyokong utama eksistensi pemerintah bahkan menjadi broker politik pada saat pilkada.
Para kelompok preman yang diketuai oleh “preman besak” banyak mendapatkan kemudahan akses dengan yang berhubungan dengan hal-hal ekonomis, maupun politis. Akibatnya mereka menjadi loyalis pemerintah yang sangat setia dalam menyokong kekuasaan.
Penghargaan terhadap kebebasan adalah salah satu unsur terpenting dari demokrasi. Karena itu, pemerintah tidak akan membatasi kebebasan warga Negara untuk mengekspresikan diri baik itu sebagai individu maupun sebagai kelompok. Karena itu, bukanlah sesuatu yang mengherankan apabila pasca reformasi banyak muncul kelompok-kelompok ataupun organisasi baik itu sebagai kelompok kepentingan (Interest groups) maupun kelompok penekan (pressure groups) yang menjadi media control terhadap perilaku pemerintah. karena, apabila tercipta hubungan yang positif antara pemerintah, kelompok kepentingan, dan kelompok penekan, hal itu akan semakin mewarnai kehidupan politik menuju ke arah yang lebih demokratis.
Karena itulah, pengkajian masalah ini menjadi penting terutama bagaimana keterkaitan demokratisasi yang sedang digembar-gemborkan oleh pemerintah dengan eksistensi kelompok preman dalam pemerintahan. Tulisan ini berusaha melihat sejauh mana dampak penggunaan kelompok-kelompok preman dalam menyokong pemerintah terhadap demokratisasi di Palembang.
Tulisan ini akan disajikan dalam beberapa bagian. Bagian pertama merupakan basis teori dari tulisan ini yang dapat diprgunakan untuk mengkaji fenomena penggunaan preman dalam menyokong kekuasaan, dan dampaknya bagi demokratisasi khususnya di Palembang. Bagian kedua mendeskripsikan ciri-ciri dan karakteristik preman Palembang. Bagian ketiga mendeskripsikan faktor yang melatarbelakangi massifnya pertumbuhan kelompok-kelompok preman, transformasi para preman dari wilayah pinggiran ke wilayah public, menjadi penyokong utama pemerintah. bagian keempat, menganalisis “kemesraan” hubungan antara preman dan pemerintah serta dampaknya bagi demokratisasi khususnya di Palembang.
Idealitas Demokrasi
Terdapat dua macam pemahaman tentang demokrasi: pemahaman secara normative dan pemahaman secara empiric. Dalam pemahaman secara normative, demokrasi merupakan sesuatu yang idiil yang ingin dicapai atau diselenggarakan oleh sebuah Negara. Misalnya, kita mengenal ungkapan, “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Demokrasi normative adalah cita-cita luhur dari sebuah negara, dan biasanya tertuang dalam konstitusi.
Definisi demokrasi nermatif yang tertuang dalam UUD 1945 diantaranya: “kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang” (pasal 1 ayat 2). “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat” (pasal 28 E ayat 3).
Sedangkan demokrasi secara empiric, atau dikenal juga dengan demokrasi procedural, adalah implementasi prinsip-prinsip demokrasi normatif ke dalam kehidupan empiris. Peroalannya, idealitas demorasi normative sering tidak sejalan dan mewujud dalam tataran realitas. karena itu, perlu untuk mengamati sejauh mana makna demokrasi normative mewujud dalam kehidupan empirik
Robert A. Dahl dalam studinya yang terkenal mengajukan lima criteria bagi demokrasi sebagai sebuah system politik yaitu:
1. Persamaan hak dalam menentukan keputusan kolektif yang mengikat.
2. Partsisipasi yang efektif. Yaitu adanya peluang yang sama bagi semua warga Negara dalam proses pembuatan pembuatan keputusan kolektif.
3. Adanya pembebasan kebenaran, yaitu adanya peluang yang sama bagi setiap orang untuk memberikan penilaian terhadap jalannya proses politik dan pemerintahan secara logis.
4. Control terakhir terhadap agenda, yaitu adanya kekuasaan eklusif bagi masyarakat untuk menentukan agenda mana yang harus dan tidak harus diputuskan melalui proses pemerintahan, termasuk pendelegasian kekuasaan itu pada orang lain atau lembaga yang mewakili masyarakat.
5. Pencakupan, yaitu terliputnya masyarakat mencakup semua orang dewasa dalam kaitannya dengan hukum.
Dalam definisi ini tampaknya Dahl lebih mementingkan keterlibatan masyarakat dalam proses formulasi kebijakan, adanya pengawasan terhadap kekuasaan, dan dijaminnya persamaan perlakuan semua warga negara sebagai unsur-unsur pokok demokrasi.
Menurut Affan Gaffar, sebagaimana dikutip dari Bambang Purwoko dan Wawan Mas’udi, untuk menilai sebuah system apakah sebuah system tersebut sudah dapat digolongkan demokratis atau belum bisa dilihat dari indikator-indikator berikut ini. Pertama, Akuntabilitas. Dalam demokrasi, setiap pemegang kekuasaan yang dipilih oleh rakyat harus dapat mempertanggungjawabkan kebijaksanaan yang dan akan ditempuhnya. Tidak hanya itu, pemegang jabatan publik harus mampu mempertanggungjawabkan semua ucapannya, termasuk perilaku pribadi keluarganya. Ia harus mengerti permasalahan rakyat yang dipimpinnya, dan berusaha membuat formula-formula efektif sebagai problem solving di masyarakat.
Kedua, Rotasi Kekuasaan. Dalam demokrasi, peluang akan terjadinya rotasi kekuasaan harus ada, dan dilakukan secara teratur (dalam jangka waktu tertentu) dan damai (sesuai dengan mekanisme yang telah disepakati). Tidak hanya satu orang yang mendominasi jabatan publik dari waktu-kewaktu, sementara peluang orang lain tertutup. Harus ada mekanisme pemilihan dalam jangka waktu tertentu untuk menentukan pemegang suatu jabatan publik.
Ketiga, Rekruitmen Politik yang Terbuka. Untuk memungkinkan terjadinya rotasi kekuasaan, maka diperlukan system rekruitmen yang terbuka. Artinya setiap orang yang memenuhi syarat untuk mengisi suatu jabatan politik yang dipilih oleh rakyat mempunyai peluang yang sama dalam ikut berkompetisi untuk mengisi jabatan tersebut. Dalam sebuah system yang tidak demokratis, rekruitmen politik biasanya dilakukan secara tertutup, artinya hanya orang-orang dan atau keluarga tertentu yang memiliki hak untuk mengikuti proses tersebut.
Keempat, Pemilihan Umum. Pemilu harus dilaksanakan secara teratur. Semua warga Negara yang sudah dewasa mempunyai hak untuk memilih dan dipilih dan bebas menggunakan haknya sesuai dengan hat nuraninya, tanpa ketakutan akibat paksaan dari orang lain.
Kelima, Menikmati Hak-hak Dasar. Dasar. Dalam sestem yang demokratis , semua warga Negara dapat menikmati hak-hak dasar mereka secara bebas, termasuk hak dalam menyatakan pendapat (preedom of expression), hak untuk berserikat dan berkumpul (preedom of assembly) dan hak untuk menikmati pers yang bebas (preedom of press).
Dalam realitas empiris, demokrasi ternyata tidak begitu saja dapat dioperasionalkan, ia sering kali harus berbenturan dengan krisis ekonomi, struktur social, budaya, dan proses politik yang terjadi dalam sebuah daerah atau Negara, kepentingan mempertahankan legitimasi penguasa. Kompleksitas tersebut tidak hanya menimbulkan ketegangan antara penguasa dan masyarakat, melainkan krisis interaksi antara kelompok-kelompok masyarakat sendiri.

Jagoan dan Kekerasan

Ong Hok Ham mencatat para milisi, jagoan, dan Kelompok kekerasan sudah akrab dalam sejarah Indonesia. Istilah yang umum di pakai adalah “tukang pukul”, atau jago. Namun ada beragam istilah dalam sejarah untuk menyebutkan para satuan kekerasan ini yaitu, brandal, weri, blater. Berbagai istilah ini bergantung pada daerah, dan fungsi yang dipegang.
Genealogi kelompok jagoan ini dalam catatan Henk Schulet Nordholte sudah ada sejak zaman kolonial, di mana terjadi kejahatan-kejahatan yang dilakukan masyarakat desa seperti pencurian, pemerasan, penyelundupan candu, kekerasan, dan terutama intimidasi sebagai fenomena sehari-hari. Pelaku yang paling penting dalam hal ini adalah para jagoan. Istilah jagoan tidak hanya merujuk pada budaya maskulinitas kejantanan, keahlian dalam berkelahi, dan kekuasaan yang diperoleh secara ‘magis’, melainkan juga suatu kategori baru ‘orang kuat’ lokal yang beroperasi di sisi kelam pemerintahan kolonial. Tidak ada pemimpin desa yang menganggap desanya aman dan beres, jika ia tidak memelihara sekurang-kurangnya seorang maling atau biasanya beberapa orang yang bekerja di bawah komando maling tua, yang disebut ‘jagoan’.
Bentuk kejahatan di pedesaan yang dilakukan oleh para jagoan ternyata tidak bisa ditampik oleh penguasa kolonial. Kejahatan pedesaan ini biasanya sebagian besar terjadi karena ketidak mampuan institusi pemerintah desa dalam mengendalikan seluruh desa. Oleh karena itu mereka terpaksa mengerahkan para jagoan.
Dengan mengutip Soemarsaid, Ong Hok Ham mengungkapkan, para penguasa tradisional biasanya memilih orang yang terkuat di dalam masyarakat sebagai jago yang akan menjaga keamanan masyarakatnya. Istilah menangkap ‘maling dengan maling’ menunjukkan betapa pentingnya peran kekerasan dalam masyarakat tradisional, karena organisasi jago menunjukkan militerisme. Jago adalah tukang pukul dalam arti luas. Pengalaman kolonial memberikan pelajaran bahwa kejahatan, aksi-aksi kriminalitas negara, pemerintahan, ternyata saling memperkuat. pemerintah dan kejahatan berelasi kuat dan menciptakan jaringan mafia kejahatan. Sungguh sulit membedakan antara kelompok jagoan, para milisi, dan “aparat berwajib”. Semuanya menjalin hubungan yang saling menguatkan.
Pada masa kini orang sering menyebutnya dengan ‘preman’. Preman berasal dari kata ‘vrij-man’ yang berarti orang yang bebas dari paksa. Arti ini kemudian berubah dari ‘prajurit berpakaian sipil’ serta ‘agen dalam samaran’ menjadi perantara kekerasan politik.
Masyarakat Palembang biasa menyebut orang yang biasa melakukan tindak kejahatan dengan istilah bandit atau ‘preman’. Bandit yang melakukan kejahatan di luar negeri seperti di Singapura, Malaysia, Brunai, biasanya disebut dengan ‘duta’ (utusan). Penyebutan duta ini adalah bentuk halus dari para bandit yang beroperasi di luar negeri. Di mata para keluarganya dan kerabatnya, para duta ini dianggap sebagai pahlawan. Sebab hasil kejahatan mereka biasanya digunakan modal buat usaha keluarga atau dibagikan kepada kawan-kawan si duta yang tidak mampu. Daerah yang paling banyak dutanya adalah Kayuagung, sebuah kota sekitar 60 kilo meter ke arah Selatan dari kota Palembang. Sebelum berangkat, biasanya, keluarga si calon duta akan melakukan selamatan atau sedekah. Ritual tersebut merupakan doa bersama, agar si duta sukses dan selamat dalam melakukan misinya.
Menariknya, sebagian duta ini hanya satu kali melakukan kejahatan. Artinya uang hasil merampok ataupun kejahatannya tersebut digunakan sebagai modal untuk melakukan usaha, atau langkah terakhir untuk mengatasi kemiskinan. Tak ada duta yang gagal saat pulang kampung. Mereka yang gagal, lebih memilih tidak kembali.
Pada tahun 70 dan 80-an, bandit Palembang pada umumnya berambut panjang. Mengenakan blue jeans ketat dan jaket kulit. Sesekali mengenakan t-shirt yang kedua lengannya dipotong. Memakai asesesoris seperti cincin berbatu besar dan menggunakan kalung emas.
Ada dua tipe bandit pada masa itu, kerempeng dan kekar. Yang kerempeng biasanya para pecandu ganja, sedangkan yang kekar pecandu bir dan anggur. Ciri-ciri lainnya, dari pinggang mereka tersembul ujung belati. Kebiasaan membawa belati ini masih tetap berlangsung sampai saat ini.
Pada dekade 90-an sampai sekarang sebagian ciri-ciri tersebut sudah mulai memudar. Penampilan mereka sudah mulai ‘trendi’ seperti, memakai baju kemeja dan celana berbahan kain yang disetrika. Sepintas, sulit membedakannya dengan orang biasa dalam kehidupan keseharian.
Kantong-kantong bandit Palembang adalah kampung Lawang Kidul yang sekarang di kenal dengan Boom Baru – karena di Kampung ini terdapat pelabuhan yang bernama Boom Baru – kampung 13 ilir, 14 Ilir, 10 Ilir, Kampung Kuto Batu, Tangga Buntung, kampung Suro, Sei Batang, serta kampung Dwikora. Semuanya masuk pada wilayah Palembang ilir. Hal yang sama juga terdapat pada Palembang ulu. Diantaranya; kampung Kertapati, Sungki, Tembok Batu, 7 Ulu, dan 5 Ulu.
Eksistensi preman dalam masyarakat adalah sebagai sesuatu yang menakutkan. Preman identik dengan pola hidup kekerasan, yang biasanya berkaitan dengan penguasaan daerah-daerah seperti, pasar, terminal, keamanan pabrik, karena itu mereka biasanya orang yang memiliki keberanian dan biasanya memilki kekuatan magis, kebal, dan lain sebagainya.
Terdapat istilah umum yang berkembang di masyarakat Palembang untuk mengklasifikasikan preman yaitu: “wong lamo” (orang lama) dan “wong baru” (orang baru). Untuk istilah yang pertama adalah para preman yang telah ‘sadar’, ataupun yang masih menjadi preman, dan biasanya, “dihormati” oleh para preman “generasi baru”. Tidak ada kategori khusus mengenai fase berapa lama ia menjalani kegiatannya tersebut, atau berapa umur seorang preman sehingga ia dapat dikategorikan sebagai “wong lamo”. Biasanya mereka disebut sebagai “wong lamo”, apabila telah muncul preman-preman baru yang lebih muda.
Yang masih menjadi preman dalam kelompok pertama ini, adalah “preman senior” yang sudah sangat dikenal oleh masyarakat luas. Bagi wong lamo yang memiliki nama besar dan memilki banyak anak buah dikenal dengan “preman besak” (preman besar). Nama-nama seperti Ibrahim balak 12 dari Plaju, Juki dari Kertapati, Atai dari Boom Baru, serta Thoyib dari Kertapati, Mat Ijah dari Tangga Buntung adalah para wong lamo yang masih bersinar sampai saat ini, dan sangat mewarnai dinamika social dan politik di Palembang.
Untuk kategori kedua adalah mereka yang sudah mulai disegani oleh lingkungan sekitarnya. Proses untuk mendapatkan pengakuan sebagai orang yang ditakuti tersebut tidak didapatkan dengan mudah. Biasanya, mereka membangun imej sebagai preman diawali dengan melakukan tindak kejahatan dan kekerasan seperti, melakukan penodongan, penjambretan, bahkan pembunuhan. Pada kelompok ini, biasanya, mereka sudah sering membawa senjata tajam dalam setiap aktifitas di luar rumah, dan memiliki kekuatan spiritual, biasanya ilmu kebal, sebagai “pelindung diri” dari ancaman dan sebagai sarana penghilang rasa takut.

“Berkah” dari Reformasi

Jatuhnya Soeharto dari tampuk kekuasaan pada 21 mei 1998 telah membawa perubahan secara radikal perpolitikan di Indoesia. Dari yang sebelumnya kekuasaan yang otoriter, sangat sentralistis, menjadi pemerintahan yang demokratis — dalam arti tidak ada lagi monopoli kekuasaan — dan menerapkan prinsip desentralisasi. Pada masa reformasi daerah diberi ruang yang lebih luas untuk menata pemerintahannya. Kelompok-kelompok civil society sudah mulai banyak bermunculan dan ikut mewarnai lanskap sosial-politik Indonesia. Rakyat tidak lagi takut untuk membentuk organisasi untuk menyuarakan aspirasi baik itu sebagai kekuatan politik maupun organisasi non-politik. Situasi ini memberikan angin segar bagi kehidupan politik di tanah air. Organisasi berbasis etnis, social, politik menjadi sarana untuk mengekspresikan diri. Bagaimana dengan preman? Setali tiga uang.
Kelompok preman yang sebelumnya hanya “bermain” pada wilayah-wilayah seperti pasar, terminal dan lain sebagainya, setelah datangnya era reformasi, mulai berani “tampil ke panggung” dan memanfaatkan momen tersebut untuk memantapkan barisan membentuk kelompok yang dapat berfungsi sebagai sarana penyaluran kepentingan.
Massifnya pertumbuhan kelompok kelompok preman tersebut setidaknya didasari atas beberapa hal: Pertama, terutama bagi “wong lamo”, hal ini dilakukan dalam rangka mempertahankan “kekuasaan” atas daerah-daerah yang sedang dikuasai seperti, pasar, terminal, pertokoan. Hal itu terutama dilakukan dalam rangka menanggulangi persaingan yang mungkin terjadi dalam perebutan wilayah dengan “wong baru”. Sudah menjadi hal yang lumrah dalam dunia premanisme bahwa ancaman perebuatan “lahan” sering terjadi. Jadi strategi memperbanyak anak buah adalah salah satu strategi yang rasional bagi mereka. Kedua, Untuk memperluas wilayah kekuasaan yang akan berdampak pada peningkatan income. Preman yang mempunyai banyak anak buah lebih mempunyai bergaining dari pada hanya mengandalkan individu. Hal ini berdasarkan asumsi bahwa jika seseorang itu mempunyai banyak anakbuah maka, ia akan dikenal oleh banyak orang, terutama para pengusaha atau kelas menengah lainnya untuk dijadikan sebagai petugas keamanan, misalnya. Dengan demikian, hal ini tentunya juga akan menambah “dapur rumah mereka” semakin mengepul. Ketiga, Karena diberdayakan. Namun tentu saja ada hubungan timbal balik diantara kedua belah pihak yaitu, penguasa tentu mengharapkan loyalitas dari mereka, sedangkan para preman tentu juga mengharapkan kemudahan akses-akses bagi mereka terutama yang berkaitan dengan ekonomi maupun politik. Contohnya, setiap acara PMPB selalu dibanjiri oleh pejabat daerah, ditambah lagi tanggal 4 April 2005, gubernur Sumatera Selatan bersama pejabat daerah lainnya seperti walikota, meresmikan sekretariat bersama untuk dipergunakan oleh PMPB dan KNPI. Dengan demikian PMPB telah menjadi anak emas pemerintah.
Wawancara penulis dengan Adi Tjahyadi ini kiranya dapat memperkuat argument ini.
“penulis : mengapa sekarang preman makin menjamur di Palembang ?
Adi Tjahyadi :karena, preman itu memang di pupuk oleh pemerintah. contohnya, mereka sering digunakan oleh pemerintah maupun pejabat untuk sebagai tenaga “keamanan”, seperti mengendalikan demonstrasi, apalagi sekarang ini, bertepatan dengan pilkada. mereka juga digunakan oleh calon gubernur atau walikota/bupati.
Penulis : Apa saja nama organisasi preman yang ada di sana?
Adi Tjahyadi : hanya PMPB
Penulis : Bagaimana dengan kelompok “preman besak” lainnya?
Adi Tjahyadi : mereka tidak berbentuk organisasi, hanya perkumpulan para preman yang diketuai oleh “preman besak”. Tapi geraknya kurang lebih sama dengan PMPB.
Para preman yang memiliki basis masa “berlomba-lomba” membentuk paguyuban ataupun mencari anak buah sebanyak-banyaknya sebagai sarana untuk menigkatkan bergaining. Kelompok-kelompok Thoyib dan Atai, Juki, Mat Ijah, dan Ibrahim balak 12 adalah kelompok preman yang paling dikenal dan bersinar di palembang.
Yang paling fenomenal diantara kelompok tersebut adalah kelompok Thoyyib (biasa dipanggil dengan abah Thoyyib) yang menamakan diri sebagai Paguyuban Masyarakat Palembang Bersatu (PMPB), yang didirikan tahun 2000, diprakarsai oleh dua preman yaitu Atai dan Thoyib.. Disebut fenomenal karena, kelompok ini merupakan yang terbesar di antara kelompok lainnya. Disamping itu, ia sudah menjadi sebuah organiasi yang mempunyai struktur dari tingkatan terbawah, tingkat kelurahan sampai tingkat propinsi. Thoyib sendiri menyebutnya sebagai “kelompok preman Sadar”, yang mengklaim memilki lebih dari 70 Ribu anggota, yang tersebar di seluruh Sumatera Selatan. Sedangkan kelompok preman lain tidak berbentuk organisasi masa melainkan bergerak sendiri sesuai dengan situasi.
Model gerakan para preman tersebut sangat multi-wajah, seperti penguasaan area-area parkir, pasar, kompleks pertokoan, tenaga pengamanan. Baik itu bekerja sama dengan pemerintahan daerah, ataupun disewa oleh pihak swasta sebagai “penjaga keamanan”. Bahkan para kelompok preman tersebut juga terlibat dalam wilayah politik seperti menjadi broker politik maupun “centeng” calon gubernur, bupati/walikota dalam kampanye.
Pemerintah dan PMPB sudah terjalin hubungan yang sangat mesra. Bahkan, MUBES I mereka yang dilaksanakan pada tanggal 1 Mei 2006 yang lalu dibuka oleh Gubernur Sumatera Selatan dan juga dihadiri oleh Wali Kota Palemabang dan beberapa bupati serta beberapa pejabat daerah. dalam konteks ini, PMPB yang sebelumnya hanyalah kumpulan “preman” yang tidak teroganisir telah mentransformasikan dirinya menjadi kekuatan politik, dalam arti sebagai penyokong kekuasaan pemerintah.

Relasi “Preman”, Pemerintah, dan Prospek demokratisasi

Maraknya pertumbuhan kelompok-kelomok preman di Palembang, dengan potensinya berupa kemampuannya dalam melakukan “pengamanan”, pemerintah daerah melakukan politik akomodasi terhadap mereka, terutama yang dikenal dengan “preman besar”, yang mempunyai basis massa.
Kemunculan preman secara terbuka di lingkungan pemerintahan marak terutama dalam lima tahun belakangan ini. Mereka dipergunakan terutama dalam rangka mempertahankan jabatan dari pihak-pihak yang dapat merongrong kekuasaan. Mahasiswa maupun LSM yang berdemo dapat dengan mudah dibungkam. Wartawan yang mau mengungkap kasus penyelewengan pemerintah juga tak mampu berbuat banyak.
Demokrasi sangat menghargai pluralitas dalam artinya, dalam suatu komunitas dimungkinkan terdiri dari berbagai macam perkumpulan yang berbasis, etnis, social, maupun politik. Pluralitas tersebut merupakan salah satu pra-syarat demi terciptanya demokratisasi. Penggunaan preman sebagai “bemper” kekuasaan tentu akan berakibat buruk bagi demokratisasi. Preman tak ubahnya seperti eksistensi militer pada masa Orde Baru. Ia memiliki potensi besar untuk menghambat perkembangan civil society dan demokratisasi.
Pemberdayaan preman oleh pejabat maupun pemerintah ini sebenarnya merupakan cerminan dari ketidak berdayaan pejabat daerah dalam menghadapi pressure dari berbagai macam kelompok penekan (pressure groups) maupun kelompok kepentingan (interest groups) lainnya seperti, elemen mahasiswa, LSM, dan lain sebagainya. Padahal, kelompok-kelompok tersebut dalam sebuah kehidupan politik keberadaannya merupakan suatu yang alamiah yaitu sebagai kontrol atas pemerintah. Demokrasi akan berfungsi dengan baik apabila pressure groups dan interest groups juga memainkan fungsinya yaitu, sebagai media control terhadap penguasa dan tentu juga harus dibarengi dengan penghargaan terhadap keberadaan mereka dalam tatanan politik (political order). akibat dari kekhawatirannya tersebut maka, penggunaan preman dianggap sebagai solusi yang rasional untuk meredam dan menopang kekuasaannya.
Aksi pemukulan, penganiayaan yang dilakukan terhadap para mahasiswa yang berdemonstrasi atas ketidak puasan kinerja pemerintah, intimidasi yang kadang diiringi dengan ancaman penculikan adalah aktifitas yang biasa mereka lakukan dalam menjaga eksistensi kekuasaan pejabat pemerintahan. Meskipun ia sudah dengan “baju yang berbeda”. Bahkan kasus penggusuran pedagang kaki lima, yang biasanya akan diiringi oleh protes para pedagang, tidak mendapatkan gejolak yang berarti. Karena mereka menyadari kalau mereka melawan akan membahayakan diri mereka sendiri.
Ilustrasi singkat mengenai kekerasan yang terjadi dalam kehidupan social-politik Palembang tersebut mengindikasikan demokrasi hanyalah sebuah pepesan kosong. Demokrasi hanya mewujud dalam tataran procedural, Sedangkan nilai-nilai demokrasi substansial atau normative adalah sebaliknya. Karena demokrasi hanya berlangsung pada hal-hal yang berkaitan dengan hal-hal seperti, pemilu dan rotasi kekuasaan. Pada segi akuntabilitas dan penghargaan terhadap nilai-nilai kebebasan, belum berjalan optimal karena, kebebasan berpendapat benar-benar dibatasi bahkan dengan kekuatan represif. Cita-cita idiil yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 jauh panggang dari api.
Menggunakan tenaga keamanan dari para preman masih dapat dibenarkan, karena banyak hal-hal yang tidak dapat dilakukan oleh polisi justru dapat dilakukan oleh preman. Namun, Penggunaan preman sebagai alat legitimasi dan penyokong kekuasaan adalah sebuah kebijakan yang blunder. Karena ia akan mematikan potensi demokrasi, yang sedang dibangun oleh bangsa ini.
Melihat buruknya dampak yang dihasilkan maka, tidak ada jalan lain kecuali, aktifitas preman dalam lingkungan pemerintahan harus segera dihentikan. Dengan cara tidak menggunakan jasa preman dalam hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan social politik. disamping itu, iklim yang kondusif bagi demokratisasi harus dibangun dengan cara tranparansi, memberikan kebebasan berkembangnya civil society, tentu dengan tetap berlandaskan pada aturan hukum yang berlaku.
Penggunaan preman akan menimbulkan iklim yang sangat tidak kondusif bagi demokratisasi, dan menimbulkan keresahan di masyarakat. Dampak yang lebih besar, hal itu dapat berujung pada konflik horizontal, baik itu antara masyarakat dengan para preman, maupun antar sesama kelompok preman itu sendiri.

Kesimpulan

Munculnya kelompok-kelompok preman dalam kehidupan politik bukanlah hal yang baru melainkan telah ada sejak zaman colonial. Sedikit banyak, penggunaan preman sebagai alat penjaga stabilitas pernah sukses terutama dalam mengendalikan tindak kejahatan yang terjadi (menangkap maling dengan maling). Namun, hal ini akan menjadi persoalan apabila penggunaan preman demi menjaga stabilitas politik digunakan dalam kehidupan politik Indonesia modern, terutama dalam usahanya membangun demokrasi.
Penggunaan Preman sebagai penopang utama kekuasaan akan mematikan perkembangan civil society. Karena, refresi maupun intimidasi yang mereka lakukan akan membunuh sikap kritis masyarakat sehingga elemen civil society tidak mampu melakukan counter hegemony terutama dalam melakukan kontrol.
Selain itu, pemerintah jangan hanya terjebak pada demokrasi yang hanya bersifat procedural melainkan, harus mengedepankan nilai-nilai demokrasi substansial atau normatif, dengan memberikan penghargaan yang tinggi terhadap kebebasan, penghargaan HAM, dan membangun komunikasi yang posistif dengan unsur-unsur pendukung demokrasi lainnya seperti, kelompok kepentingan, kelompok penekan, maupun patai politik. dan hal yang paling penting adalah mengedepankan etika sosial harus diutamakan dari pada mementingkan kesejahteraan individu maupun kelompoknya.

Bibliografi
1. Buku
Dahl, Robert A., Dilema Demokrasi Pluralis: Antara Otonomi dan Kontrol. alih bahasa, Sahat Simamora. Jakarta : CV. Rajawali, 1995
Gaffar, Afan Politik Indonesia : Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006
Ham, Ong Hok, Peran Jago Dalam Sejarah, dalam Dari Soal Priyayi Sampai Nyi Blorong, Refleksi Sejarah Nusantara. Jakarta: Kompas, 2002
Key, Jr., V. O., Politics, Parties, and Pressure Groups. New York : Thomas Y. Crowell Company, 1960
Nordholte, Henk Schulte, Kriminalitas, Modernitas, dan Identitas dalam Sejarah Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002
Purwoko, dan Wawan Mas’udi, Bambang, Wakil Gubernur dan Keistimewaan DIY, dalam, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 5, Nomor 2, November 2001,
Simon, Roger, Gagasan-Gagasan Politik Gramsci. alih bahasa, Kamdani dan Imam Baehaqi . Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004
Suseno, Frans Magnis, Etika Politik : Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001
2. Lain-lain
http//andreasharsono.blogspot.com/200602/thoyib.html.htm. akses tanggal 29 Desember 2007
Sriwijaya Post, edisi 4 April 2005
Wawancara melalui telephon dengan Adi Tjahyadi, tanggal 29 Desember 2007.
Taufik wijaya, Thoyib (1); Dari Dunia Preman Hingga Pentas Politik, dalam, Sinar Harapan, edisi Sabtu 25 Februari 2006
Sriwijaya Post, edisi Senin 1 Mei 2006.
Http//www.kammi.or.id/lastlihat.phpd=materi&do=view&id=267.htm. akses tanggal28 Desember 2007
http//www.detikinet.com/index.phpdetik.readtahun2006bulan06tgl08time192609idnews612318idkanal10.htm., akses tanggal, 29 Desember 2007
Htt//palexnoerdin2008.wordpress.com/20071102/alex-noerdin-anti-premanisme.htm. akses tanggal, 28 Desember 2007

Oleh: masalahsosial | Mei 21, 2009

Hello world!

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!

Kategori